Nama: Zunalia
NIM : 291410016
Kelas :
komunikasi. A
Dalam
kamus besar bahasa indonesia (2008:225) di sebutkan bahwa budaya adalah
pikiran,akal budi,hasil. Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin
( akal budi)manusia seperti (kepercayaan, kesenian dan adat istiadat).
Spradley (2007:7) mengemukakan
kebududayaan bahwa pengetahuan yang di peroleh, yang di guankan orang untuk
menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku social. Budaya adalah sesuatu yang hidup, berkembang
dan bergerak menuju titik tertentu ( Endaswara, 2006:1)
Ø Budaya Muna.
Makna
nama orang muna untuk laki-laki di awali dengan LA dan untuk perempuan WA.
Nama
setiap orang muna untuk laki-laki selalu di awali dengan menggunakan kata LA
dan perempuan menggunakan kata WA. Ungkapan
kata La dan Wa untuk masyarakat Muna dan Buton telah dipahami oleh sebagian
besar masyarakat berasal dari kalimat Tauhid yakni dari “syahadat thain”
(ashadualla Illallah illallah) dan diartikan La sebagai kesatuan dari kalimat
sahadat (bukan penggalan kata) dan untuk Wa bermakna yang sama untuk kalimat
sahadat rasul (Washaduanna Muhammad Darasulullah).
Dengan pemahaman tersebut menyebabkan RASA BANGGA melekat
bagi mereka yang menggunakan kata depan nama (La/Wa). Pemahaman konsep tersebut
dapat bernilai wajar manakala memang demikian adanya, namun minimal penggunaan
kata depan La/Wa menjadi pembeda dengan masyarakat lain di nusantara ini,
bahkan pada skala dunia.
Pemaknaan kerangka berpikir dan pemahaman masyarakat
dengan penggunaan nama depan La dan Wa dikaitkan dengan sumber asal katanya.
Secara garis besar, ada dua pemikiran saudara saya di
jazirah muna dan buton yang menjelaskan asal kata depan “La” sebagai berikut :
Kata La diambil dari kalimat tauhid (sahadat) “ashadualLa Illallah
illallah”,
Kata La diambil dari kalimat tahlil “La Ilaha illallah”, Sedangkan untuk kata Wa, mempunyai asal kata yang sama
yakni dari kalima Wa ashadu anna muhammad darasullullah (sahadat rasul).
Pemahaman Makna Kata “Ode” oleh Masyarakat Jazirah Muna Dan Buton saat
ini
Makna kata
“Ode” secara prinsip umumnya bermakna sama yakni Suatu Kelas Sosio Cultural Masyarakat Dari Kalangan Bangsawan. Informasi/uraian banyak yang tidak
menjelaskan apa syarat seseorang dikatakan bangsawan dan berhak menyandang Ode
pada namanya. Asal kata “Ode”
yang berarti “bangsawan yang ditemukan dalam literatur bahasa arab yang tua”,
tidak menjelaskan bahasa arab tua yang mana yang dirujuk, dan apa makna
sebenarnya? Kata ode
ini adalah bentuk marga yang di gunakan masyarakat muna dari kalangan bangsawan
dahulu. Kata La Ode
juga diartikan orang yang mulia atau terpuji di depan Allah. Asal kata Ode
merupakan bahasa hidup yang berasal dari bahasa arab, dimana serangkaiannya
dengan Kata La/Wa juga dari bahasa arab, sehingga dua kata tersebut menjadi
bahasa/huruf hidup (La/Wa+Ode).
Ø Budaya
Katoba (pengislaman)
Mangunwijaya
(1988: 17) mengatakan bahwa religius adalah ketaatan pada sesuatu yang
dihayati, keramat, suci, kudus, dan adi kodrati. TRADISI LISAN RITUAL KATOBA (TRLK) sebagai salah
satu bentuk ritual masyarakat Muna yang diilhami ajaran Islam memiliki fungsi
religius disamping fungsi-fungsi lainnya.
Dalam tradisi
atau budaya etnik Muna, TRLK merupakan pintu awal bagi seorang anak
memasuki dunia dewasa. Di Muna baik anak laki-laki maupun anak perempuan belum
diwajibkan melaksanakan ibadah sholat sebelum dikangkilo. Anak-anak yang
belum ditoba dianggap belum dewasa dan belum suci secara lahiriah maupun
secara batiniah. Setelah ditoba, mereka diwajibkan berbuat dan
mempraktekkan hal-hal yang baik di dalam lingkungan keluarga, masyarakat
termasuk melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah atau umat Nabi Muhammad
yaitu melaksanakan perintah ibadah sholat untuk kepentingan di dunia maupun
untuk kepentingan di akhirat kelak.
Melalui TRLK,
anak-anak dinasehati agar mengetahui perbuatan apa yang disenangi dan yang
tidak disenangi oleh Allah SWT, Nabi Muhammad, orang tua, kakak, sesama umur,
maupun dibawah umur kita. Perbuatan baik harus dilaksanakan, perbuatan jahat
harus ditinggalkan, yang tua dihormati, yang sesama dihargai, dan yang adik
disayangi serta dipelihara.
Pendidikan
religius khususnya pendidikan agama Islam dalam TRLK tidak sama dengan
yang diajarkan dalam lembaga pendidikan formal seperti belajar mengetahui isi
ajaran Islam seperti tentang tata cara sholat, memahami rukun Islam, rukun
sholat, tetapi yang diajarkan dalam katoba adalah bagaimana seseorang
memahami persyaratan dirinya agar sah menjadi Islam.
Adapun fungsi
religius yang ada dalam tuturan katoba sebagai berikut:
Dosahada be
debasa doa
mengucapkan dua
kalimat syahadat dan membaca doa’
Oe mosahano be
pata mosahano
‘hal air
suci/air yang sah dan air yang tidak suci/tidak sah’
Saratino toba
‘syarat tobat’
Ø Upacara
Adat Nikah Suku Muna
Tahapan pelaksanaan adat perkawinan suku Muna
ü Pemilihan jodoh
Sebelum
melakukan pelamaran kadang kala orang tua sering memilihkan jodoh untuk
anaknya, namun hal ini sudah tidak dijumpai lagi dalam kalangan masyarakat suku
Muna. Pada hakekatnya pemilihan jodoh ini, orang tua bercita-cita agar anaknya
dapat kawin dengan seorang yang cocok dan disenanginya. Oleh karena itu,
sebelum orang tua mengambil keputusan terhadap jodoh anaknya, terlebih dahulu
mereka mengadakan penilaian kepada perempuan yang akan dilamar. Penilaian ini
tidak hanya dilakukan oleh orang tua, tetapi peranan kaum kerabat sangat
menentukan pula yang menjadi ukuran penilaian adalah kecantikan, keturunan,
agamanya, kekayaan, budi pekerti, serta akhlaknya (Arifin, wawancara, 27
Januari 2010).
Apabila seorang
laki-laki bermaksud melangsungkan perkawinan sedapat mungkin hal tersebut orang
tua merundingkan dengan kaum kerabat dan anak yang bersangkutan.
ü Pertunangan
Perkawinan
timbul setelah adanya persetujuan antara kedua belah pihak calon pengantin
untuk selanjutnya melangsungkan perkawinan. Dan persetujuan ini dicapai oleh
kedua belah pihak setelah terlebih dahulu melakukan lamaran atau peminangan
yaitu suatu permintaan atau pertimbangan yang dikemukakan yang biasanya oleh
pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Pertemuan
yang pertama kalinya untuk membicarakan kehendak mengadakan perkawinan ini di
daerah Muna di namakan (katangka) yang mengandung arti permintaan dalam bentuk
pernyataan kehendak dari suatu pihak kepada pihak lain untuk maksud mengadakan
(ingin melaksanakan) ikatan perkawinan.
Pertunangan
baru mengikat apabila dari pihak laki-laki (pihak yang meminang) sudah
memberikan kepada pihak perempuan (pihak yang di pinang) suatu tanda pengikat
yang kelihatan yang di sebut (singkaru).
Tanda
lamaran tersebut disampaikan oleh juru bicara pihak pelamar kepada pihak yang
dilamar dengan bahasa dan peribahasa adat, yang indah, sopan, santun, dan penuh
hormat dengan memperkenalkan para anggota rombongan yang datang, hubungan
kekerabatan satu persatu dengan calon mempelai pria. Begitu pula juru bicara
dari pihak wanita yang dilamar akan menyatakan penerimaannya dengan bahasa dan
peribahasa adat.
Setelah
selesai kata-kata sambutan kedua belah pihak maka barang-barang tanda lamaran
itu diteruskan kepada tokoh-tokoh adat, keluarga/kerabat wanita, kemudian kedua
belah pihak mengadakan perundingan tentang hal-hal sebagai berikut :
a. Besarnya uang jujur
(uang adat, dan mas kawin).
b. Besarnya uang
permintaan (biaya perkawinan) dari pihak wanita.
c. Bentuk perkawinan
dan kedudukan suami isteri setelah perkawinan.
d.
Perjanjian-perjanjian perkawinan
e. Kedudukan harta
perkawinan.
f. Acara dan upacara
adat perkawinan.
g. Waktu dan tempat
upacara.
Tidak
semua acara dan upacara perkawinan tersebut dilaksanakan oleh para pihak yang
akan melaksanakan perkawinan, hal ini tergantung pada keadaan, kemampuan dan
masyarakat adat yang bersangkutan.
Pada
masyarakat suku Muna dalam upacara adat perkawinan Nampak sekali sifat atau
ciri khususnya seperti halnya pada masyarakat Tongkuno. Pada masyarakat suku
Muna dikenal beberapa tahapan dalam proses pelaksanaan adat perkawinan yaitu
pemilihan jodoh, pertunangan, peminangan, kawin, (La Fudhu, wawancara 26
Januari 2010).
Berikut ini akan
diuraikan mengenai tahapan-tahapan pelaksanaan adat perkawinan suku muna
sebagai berikut:
ü Pelamaran
Bila
ada persetujuan dapatlah dilakukan pelamaran, sebaliknya bila orang tua tidak
setuju sedangkan anak yang bersangkutan sangat menginginkannya dapatlah terjadi
perkawinan lari (Pofileigho).
Pada
tahapan ini langkah pertama yang dilakukan setelah adanya kesepakatan dari
pihak laki-laki, yaitu menghungi orang tua pihak perempuan bahwa mereka akan
berkungjung kerumah orang tua perempuan melalui jugur bicara adat. Setelah itu
bila orang tua perempuan bersedia untuk menerima kedatangan mereka, keluarga
pihak laki-laki bersama juru bicara adanya berkunjung kerumah orang tua
perempuan tersebut dengan membawa sebuah bungkusan yang merupakan “kabintingia”
(talang kecil persegi empat).
Dalam
proses pelaksanaan perkawinan di daerah Muna tidak dapat dianggap remeh dan
harus ditaati karena perkawinan itu menurut keterangan La Ode Sabora bahwa: “Dalam menghadapi perkawinan baik pihak calon
suami istri maupun keluarga kedua belah pihak ada dua jalan yang ditempuh
yakni,
“Selamat atau mati” dan
juga dalam membicarakan adat perkawinan mudah tetapi sulit, tetapi mudah
(momuda maka nohali, nohali maka nomuda)” (Arifin 27 Januari 2010)
Sumber
Ø Budaya Adat Gorontalo
ü Upacara perkawinan
Upacara perkawinan adat gotontalo
berlangsung di dua tempat yaitu di tempat mempelai pria dan wanita, masing
masing keluarga mempelai mengadakan pesta dirumah masing-masing. Dalam pesta
tersebut selalu berlangsung meriah hingga berhari hari lamanya.
Beberapa hari sebelum pesta dilangsungkan semua keluarga dan kerabat telah
datang berkumpul untuk membantu pelaksanaan pesta tersebut, baik ibu-ibu maupun
bapak bapak selalu datang beramai- ramai.
Dalam pesta itu mempelai pria dan
wanita menggunakan pakaian adat Bili’u dengan tempat pelaminan yang juga dihias
menggunakan adat Gorontalo. Pesta yang berlangsung biasanya 3 hari itu dengan
masing masing mempunyai sebutan setiap hari yang berbeda.
Pernikahan Adat Gorontalo ini perlu
di lestarikan, karena mengandung nilai–nilai budaya yang tinggi. Adat Gorontalo
ini semakin hari semakin terkontaminasi dengan perubahan zaman. Terlihat dimana–mana
pernikahan di Gorontalo tanpa melewati lagi prosesi adat gorontalo. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya, banyak pemuda zaman sekarang yang
enggan mempelajari adat pernikahan gorontalo. Sehingga warisan leluhur ini
semakin terlupakan, karena tidak adanya regenerasi penerus Adati lo Hulondhalo.
Pernikahan Adat Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri. Karena penduduk
Provinsi Gorontalo memiliki penduduk yang hampir seluruhnya memeluk agama
Islam, sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah
Islam. Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat Gorontalo
yaitu, “Adati hula hula Sareati, Sareati hula hula to Kitabullah” yang artinya,
Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah.
Ø Upacara
Pernikahan Adat Gorontalo
Mopoloduwo
Rahasia
Mopoloduwo rahasia yaitu dimana
orang tua dari pria mendatangi kediaman orang tua sang wanita untuk memperoleh
restu pernikahan anak mereka. Apabila keduanya menyetujui, maka ditentukan
waktu untuk melangsungkan peminangan atau Tolobalango.
Tolobalango
Tolobalango adalah peminangan secara
resmi yang dihadiri oleh pemangku adat Pembesar Negeri dan keluarga melalui
juru bicara pihak keluarga pria atau Lundthu Dulango Layio dan juru bicara
utusan keluarga wanita atau Lundthu Dulango Walato, Penyampaian maksud
peminangan dilantunkan melalui pantun-pantun yang indah. Dalam Peminangan Adat
Gorontalo tidak menyebutkan biaya pernikahan (Tonelo) oleh pihak utusan
keluarga calon pengantin pria, namun yang terpenting mengungkapkan Mahar atau
Maharu dan penyampaian acara yang akan dilaksanakan selanjutnya.
Depito
Dutu
Pada waktu yang telah disepakati
dalam acara Tolobalango maka prosesi selanjutnya adalah mengantar harta atau
antar mahar, didaerah gorontalo disebut Depito Dutu yang terdiri dari 1 paket
mahar, sebuah paket lengkap kosmetik tradisional Gorontalo dan kosmetik modern,
ditambah seperangkat busana pengantin wanita, serta bermacam buah-buahan dan
bumbu dapur atau dilonggato.
Semua mahar ini dimuat dalam sebuah
kendaraan yang didekorasi menyerupai perahu yang disebut Kola–Kola. Arak-arakan
hantaran ini dibawa dari rumah Yiladiya (kediaman/ rumah raja) calon pengantin
pria menuju rumah Yiladiya pengantin wanita diringi dengan gendering adat dan
kelompok Tinilo diiringi tabuhan rebana melantunkan lagu tradisional Gorontalo
yang sudah turun temurun, yang berisi sanjungan, himbauan dan doa keselamatan
dalam hidup berumah tangga dunia dan akhirat.
Mopotilandahu
Pada malam sehari sebelum Akad Nikah
digelar serangkaian acara malam pertunangan atau Mopotilandahu. Acara ini
diawali dengan Khatam Qur’an, proses in bermakna bahwa calon mempelai wanita
telah menamatkan atau menyelesaikan mengajinya dengan membaca ‘Wadhuha’ sampai
Surat Lahab. Dilanjutkan dengan Molapi Saronde yaitu tarian yang dibawakan oleh
calon mempelai pria dan ayah atau wali laki-laki. Tarian ini menggunakan
sehelai selendang. Ayah dan calon mempelai pria secara bergantian menarikannya,
sedangkan sang calon mempelai wanita memperhatikan dari kejauhan atau dari kamar.
Bagi calon mempelai pria ini
merupakan sarana menengok atau mengintip calon istrinya, istilah daerah
Gorontalo di sebut Molile Huali. Dengan tarian ini calon mempelai pria
mecuri-curi pandang untuk melihat calonnya. Saronde dimulai dengan ditandai
pemukulan rebana diiringi dengan lagu Tulunani yang disusun syair-syairnya
dalam bahasa Arab yang juga merupakan lantunan doa-doa untuk keselamatan.
Lalu sang calon mempelai wanita
ditemani pendamping menampilkan tarian tradisional Tidi Daa atau Tidi Loilodiya.
Tarian ini menggambarkan keberanian dan keyakinan menghadapi badai yang akan
terjadi kelak bila berumah tangga. Usai menarikan Tarian Tidi, calon mempelai
wanita duduk kembali ke pelaminan dan calon mempelai pria dan rombongan
pemangku adat beserta keluarga kembali ke rumahnya.
Tari
Saronde
Tari Saronde adalah tari pergaulan
keakraban dalam acara pertunangan. Tarian ini dilakukan di halaman calon
mempelai wanita. Tentu penarinya adalah calon mempelai laki-laki bersama orang
tua atau walinya. Ini adalah cara orang Gorontalo menjenguk atau mengintip
calon pasangan hidupnya dan mempelai wanita berada di dalam kamar dan tetap
memperhatikan pujaan hatinya.
Tari Saronde dipengaruhi secara kuat
oleh agama Islam. Tarian ini dimulai dengan pemukulan rebana, alat musik pukul
berbentuk bundar. Lirik lagu adalah syair-syair pujian terhadap Tuhan dan doa
memohon keselamatan dalam bahasa Arab.
Akad
Nikah
Keesokan harinya Pemangku Adat
melaksanakan Akad Nikah, sebagai acara puncak dimana kedua mempelai akan
disatukan dalan ikatan pernikahan yang sah menurut Syariat Islam. Dengan cara
setengah berjongkok mempelai pria dan penghulu mengikrarkan Ijab Kabul dan mas
kawin yang telah disepakati kedua belah pihak keluarga. Acara ini selanjutnya
ditutup dengan doa sebagai tanda syukur atas kelancaran acara penikahan ini.
Pakaian
Adat Gorontalo
Gorontalo memiliki pakaian khas
daerah sendiri baik untuk upacara perkawinan, khitanan, baiat (pembeatan
wanita), penyambutan tamu, maupun yang lainnya. Untuk upacara perkawinan,
pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u atau Paluawala. Pakaian adat ini
umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan
hijau.
Nuansa
Warna Bagi Masyarakat Gorontalo
Dalam adat istiadat gorontalo ,
setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu, karena itu dalam upacara
pernikahan masyarakat gorontalo hanya menggunakan empat warna utama , yaitu
merah ,hijau , kuning emas , dan ungu. Warna merah dalam masyarakat gorontalo
bermakna keberanian dan tanggung jawab , hijau bermakna Kesuburan,
kesehjateraan , kedamaian dan kerukunan, kuning emas bermakna kemulian,
kesetiaan ,kesabaran dan kejujuran sedangkan warna ungu bermakna keanggunan dan
kewibawaan.
Pada umumnya masyarakat Gorontalo
enggan memakai pakai warna coklat karena coklat melambangkan tanah , karena itu
bila mereka ingin memakai pakaian warna gelap, maka mereka akan memilih warna
hitam yang bermakna keteguhan dan Ketuhanan Yang Maha Esa , warna putih
bermakna kesucian dan kedudukan , karena itu masyarakat gorontalo lebih suka mengenakkan
warna putih bila pergi ke tempat perkebungan atau kedukaan atau tempat ibadah
(masjid), biru muda sering digunakan pada saat peringatan 40 hari
duka,sedangkan biru tua digunakan pada peringatan 100 hari duka.
Dalam adat perkawinan Gorontalo
sebelum hari H dilaksanakan dutu, dimana kerabat pengantin pria akan
mengantarkan harta dengan membawakan buah-buahan , seperti jeruk , nangka
,nenas , tebu , setiap buah yang dibawah juga punya makna tersendiri misalnya
buah jeruk berkmakna bahwa pengantin harus merendahkan diri, duri jeruk
bermkana bahwa pengantin harus menjaga diri dan rasanya yang manis bermakna
bahwa pengantin harus menjaga tata krama atau sifat manis yang disukai orang
.nenas durinya juga bermakna bahwa pengantin harus menjaga diri dan begitu juga
rasanya yang manis.nangka dalam bahasa gorontalo langge loo olooto , yang
berbau harum dan berwarna kuning emas yang bermakna pengantin harus mempunyai
sifat penyayang dan penebar keharuman. Tebu warna kuning bermakna pengantin
harus menjadi orang yang disukai dan teguh dalam pendirian
Demikian beberapa adat dan kebiasaan
yang terus dipertahankan hingga saat ini meski ditengah banyak perubahan yang
terjadi mengikuti perkembangan jaman yang makin canggih ini. Namun ada
kebiasaan yang mendasar yang diturunkan oleh leluhur yang harus tetap dijaga
untuk kelestarian adat dan budaya sebagai ciri khas daerah atau suku yang
menjadi kekayaan budaya di Indonesia.
Beragam budaya yang ada di Indonesia
telah mencerminkan bahwa betapapun banyak perbedaan budaya antar daerah, namun
masing masing individu dan kelompok dapat membaur satu sama lain tanpa melihat
perbedaan itu seperti yang tersebut dalam semboyan Bhinneka Tunggal
Ika.
Jelaslah bahwa kehidupan
bermasyarakat sebenarnya berintikan pada interaksi sosial. Interaksi sosial
tersebut merupakan hubungan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut
hubungan antara orang orang sebagai pribadi pribadi, antara kelompok kelompok
manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Berlangsungnya suatu proses
interaksi sosial didasari oleh berbagai factor antara lain factor imitasi,
sugesti, identifikasi dan simapti. Faktor factor tersebut dapat bergerak
sendiri sendiri secara terpisah mapun dalam keadaan bergabung. Apabila ditinjau
secara lebih mendalam, factor tersebut dapat mendorong seseorang untuk mematuhi
kaidah kaidah dan nilai nilai yang berlaku.