Jumat, 08 Maret 2013

Budaya Muna ( SULTRA) Dan Gorontalo



Nama: Zunalia
NIM  : 291410016
Kelas : komunikasi. A

Dalam kamus besar bahasa indonesia (2008:225) di sebutkan bahwa budaya adalah pikiran,akal budi,hasil. Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi)manusia seperti (kepercayaan, kesenian dan adat istiadat). Spradley  (2007:7) mengemukakan kebududayaan bahwa pengetahuan yang di peroleh, yang di guankan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku social.  Budaya adalah sesuatu yang hidup, berkembang dan bergerak menuju titik tertentu ( Endaswara, 2006:1)
Ø  Budaya Muna.
Makna nama orang muna untuk laki-laki di awali dengan LA dan untuk perempuan WA.
Nama setiap orang muna untuk laki-laki selalu di awali dengan menggunakan kata LA dan perempuan menggunakan kata WA. Ungkapan kata La dan Wa untuk masyarakat Muna dan Buton telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat berasal dari kalimat Tauhid yakni dari “syahadat thain” (ashadualla Illallah illallah) dan diartikan La sebagai kesatuan dari kalimat sahadat (bukan penggalan kata) dan untuk Wa bermakna yang sama untuk kalimat sahadat rasul (Washaduanna Muhammad Darasulullah).
Dengan pemahaman tersebut menyebabkan RASA BANGGA melekat bagi mereka yang menggunakan kata depan nama (La/Wa). Pemahaman konsep tersebut dapat bernilai wajar manakala memang demikian adanya, namun minimal penggunaan kata depan La/Wa menjadi pembeda dengan masyarakat lain di nusantara ini, bahkan pada skala dunia.
Pemaknaan kerangka berpikir dan pemahaman masyarakat dengan penggunaan nama depan La dan Wa dikaitkan dengan sumber asal katanya. Secara garis besar, ada dua pemikiran saudara saya di jazirah muna dan buton yang menjelaskan asal kata depan “La” sebagai berikut :
Kata La diambil dari kalimat tauhid (sahadat) “ashadualLa Illallah illallah”,
Kata La diambil dari kalimat tahlil “La Ilaha illallah”, Sedangkan untuk kata Wa, mempunyai asal kata yang sama yakni dari kalima Wa ashadu anna muhammad darasullullah (sahadat rasul).
Pemahaman Makna Kata “Ode” oleh Masyarakat Jazirah Muna Dan Buton saat ini
Makna kata “Ode” secara prinsip umumnya bermakna sama yakni Suatu Kelas Sosio Cultural Masyarakat Dari Kalangan Bangsawan. Informasi/uraian banyak yang tidak menjelaskan apa syarat seseorang dikatakan bangsawan dan berhak menyandang Ode pada namanya. Asal kata “Ode” yang berarti “bangsawan yang ditemukan dalam literatur bahasa arab yang tua”, tidak menjelaskan bahasa arab tua yang mana yang dirujuk, dan apa makna sebenarnya? Kata ode ini adalah bentuk marga yang di gunakan masyarakat muna dari kalangan bangsawan dahulu.  Kata La Ode juga diartikan orang yang mulia atau terpuji di depan Allah. Asal kata Ode merupakan bahasa hidup yang berasal dari bahasa arab, dimana serangkaiannya dengan Kata La/Wa juga dari bahasa arab, sehingga dua kata tersebut menjadi bahasa/huruf hidup (La/Wa+Ode).
Ø  Budaya Katoba (pengislaman)
Mangunwijaya (1988: 17) mengatakan bahwa religius adalah ketaatan pada sesuatu yang dihayati, keramat, suci, kudus, dan adi kodrati. TRADISI LISAN RITUAL KATOBA (TRLK) sebagai salah satu bentuk ritual masyarakat Muna yang diilhami ajaran Islam memiliki fungsi religius disamping fungsi-fungsi lainnya.
Dalam tradisi atau budaya etnik Muna, TRLK merupakan pintu awal bagi seorang anak memasuki dunia dewasa. Di Muna baik anak laki-laki maupun anak perempuan belum diwajibkan melaksanakan ibadah sholat sebelum dikangkilo. Anak-anak yang belum ditoba dianggap belum dewasa dan belum suci secara lahiriah maupun secara batiniah. Setelah ditoba, mereka diwajibkan berbuat dan mempraktekkan hal-hal yang baik di dalam lingkungan keluarga, masyarakat termasuk melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah atau umat Nabi Muhammad yaitu melaksanakan perintah ibadah sholat untuk kepentingan di dunia maupun untuk kepentingan di akhirat kelak.
Melalui TRLK, anak-anak dinasehati agar mengetahui perbuatan apa yang disenangi dan yang tidak disenangi oleh Allah SWT, Nabi Muhammad, orang tua, kakak, sesama umur, maupun dibawah umur kita. Perbuatan baik harus dilaksanakan, perbuatan jahat harus ditinggalkan, yang tua dihormati, yang sesama dihargai, dan yang adik disayangi serta dipelihara.
Pendidikan religius khususnya pendidikan agama Islam dalam TRLK tidak sama dengan yang diajarkan dalam lembaga pendidikan formal seperti belajar mengetahui isi ajaran Islam seperti tentang tata cara sholat, memahami rukun Islam, rukun sholat, tetapi yang diajarkan dalam katoba adalah bagaimana seseorang memahami persyaratan dirinya agar sah menjadi Islam.
Adapun fungsi religius yang ada dalam tuturan katoba sebagai berikut:
Dosahada be debasa doa
mengucapkan dua kalimat syahadat dan membaca doa’
Oe mosahano be pata mosahano
‘hal air suci/air yang sah dan air yang tidak suci/tidak sah’
Saratino toba
‘syarat tobat’

Ø  Upacara Adat Nikah Suku Muna
Tahapan pelaksanaan adat perkawinan suku Muna
ü  Pemilihan jodoh
Sebelum melakukan pelamaran kadang kala orang tua sering memilihkan jodoh untuk anaknya, namun hal ini sudah tidak dijumpai lagi dalam kalangan masyarakat suku Muna. Pada hakekatnya pemilihan jodoh ini, orang tua bercita-cita agar anaknya dapat kawin dengan seorang yang cocok dan disenanginya. Oleh karena itu, sebelum orang tua mengambil keputusan terhadap jodoh anaknya, terlebih dahulu mereka mengadakan penilaian kepada perempuan yang akan dilamar. Penilaian ini tidak hanya dilakukan oleh orang tua, tetapi peranan kaum kerabat sangat menentukan pula yang menjadi ukuran penilaian adalah kecantikan, keturunan, agamanya, kekayaan, budi pekerti, serta akhlaknya (Arifin, wawancara, 27 Januari 2010).
Apabila seorang laki-laki bermaksud melangsungkan perkawinan sedapat mungkin hal tersebut orang tua merundingkan dengan kaum kerabat dan anak yang bersangkutan.
ü  Pertunangan
Perkawinan timbul setelah adanya persetujuan antara kedua belah pihak calon pengantin untuk selanjutnya melangsungkan perkawinan. Dan persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak setelah terlebih dahulu melakukan lamaran atau peminangan yaitu suatu permintaan atau pertimbangan yang dikemukakan yang biasanya oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Pertemuan yang pertama kalinya untuk membicarakan kehendak mengadakan perkawinan ini di daerah Muna di namakan (katangka) yang mengandung arti permintaan dalam bentuk pernyataan kehendak dari suatu pihak kepada pihak lain untuk maksud mengadakan (ingin melaksanakan) ikatan perkawinan.
Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki (pihak yang meminang) sudah memberikan kepada pihak perempuan (pihak yang di pinang) suatu tanda pengikat yang kelihatan yang di sebut (singkaru).
Tanda lamaran tersebut disampaikan oleh juru bicara pihak pelamar kepada pihak yang dilamar dengan bahasa dan peribahasa adat, yang indah, sopan, santun, dan penuh hormat dengan memperkenalkan para anggota rombongan yang datang, hubungan kekerabatan satu persatu dengan calon mempelai pria. Begitu pula juru bicara dari pihak wanita yang dilamar akan menyatakan penerimaannya dengan bahasa dan peribahasa adat.
Setelah selesai kata-kata sambutan kedua belah pihak maka barang-barang tanda lamaran itu diteruskan kepada tokoh-tokoh adat, keluarga/kerabat wanita, kemudian kedua belah pihak mengadakan perundingan tentang hal-hal sebagai berikut :

a. Besarnya uang jujur (uang adat, dan mas kawin).
b. Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan) dari pihak wanita.
c. Bentuk perkawinan dan kedudukan suami isteri setelah perkawinan.
d. Perjanjian-perjanjian perkawinan
e. Kedudukan harta perkawinan.
f. Acara dan upacara adat perkawinan.
g. Waktu dan tempat upacara.
Tidak semua acara dan upacara perkawinan tersebut dilaksanakan oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, hal ini tergantung pada keadaan, kemampuan dan masyarakat adat yang bersangkutan.
Pada masyarakat suku Muna dalam upacara adat perkawinan Nampak sekali sifat atau ciri khususnya seperti halnya pada masyarakat Tongkuno. Pada masyarakat suku Muna dikenal beberapa tahapan dalam proses pelaksanaan adat perkawinan yaitu pemilihan jodoh, pertunangan, peminangan, kawin, (La Fudhu, wawancara 26 Januari 2010).
Berikut ini akan diuraikan mengenai tahapan-tahapan pelaksanaan adat perkawinan suku muna sebagai berikut:
ü  Pelamaran
Bila ada persetujuan dapatlah dilakukan pelamaran, sebaliknya bila orang tua tidak setuju sedangkan anak yang bersangkutan sangat menginginkannya dapatlah terjadi perkawinan lari (Pofileigho).
Pada tahapan ini langkah pertama yang dilakukan setelah adanya kesepakatan dari pihak laki-laki, yaitu menghungi orang tua pihak perempuan bahwa mereka akan berkungjung kerumah orang tua perempuan melalui jugur bicara adat. Setelah itu bila orang tua perempuan bersedia untuk menerima kedatangan mereka, keluarga pihak laki-laki bersama juru bicara adanya berkunjung kerumah orang tua perempuan tersebut dengan membawa sebuah bungkusan yang merupakan “kabintingia” (talang kecil persegi empat).
Dalam proses pelaksanaan perkawinan di daerah Muna tidak dapat dianggap remeh dan harus ditaati karena perkawinan itu menurut keterangan La Ode Sabora bahwa:  “Dalam menghadapi perkawinan baik pihak calon suami istri maupun keluarga kedua belah pihak ada dua jalan yang ditempuh yakni,

“Selamat atau mati” dan juga dalam membicarakan adat perkawinan mudah tetapi sulit, tetapi mudah (momuda maka nohali, nohali maka nomuda)” (Arifin 27 Januari 2010)
Sumber
Ø  Budaya Adat Gorontalo

ü  Upacara perkawinan
Upacara perkawinan adat gotontalo berlangsung di dua tempat yaitu di tempat mempelai pria dan wanita, masing masing keluarga mempelai mengadakan pesta dirumah masing-masing. Dalam pesta tersebut selalu berlangsung meriah hingga berhari hari lamanya.
Beberapa hari sebelum pesta dilangsungkan semua keluarga dan kerabat telah datang berkumpul untuk membantu pelaksanaan pesta tersebut, baik ibu-ibu maupun bapak bapak selalu datang beramai- ramai.
Dalam pesta itu mempelai pria dan wanita menggunakan pakaian adat Bili’u dengan tempat pelaminan yang juga dihias menggunakan adat Gorontalo. Pesta yang berlangsung biasanya 3 hari itu dengan masing masing mempunyai sebutan setiap hari yang berbeda.
Pernikahan Adat Gorontalo ini perlu di lestarikan, karena mengandung nilai–nilai budaya yang tinggi. Adat Gorontalo ini semakin hari semakin terkontaminasi dengan perubahan zaman. Terlihat dimana–mana pernikahan di Gorontalo tanpa melewati lagi prosesi adat gorontalo. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya, banyak pemuda zaman sekarang yang enggan mempelajari adat pernikahan gorontalo. Sehingga warisan leluhur ini semakin terlupakan, karena tidak adanya regenerasi penerus Adati lo Hulondhalo.
Pernikahan Adat Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri. Karena penduduk Provinsi Gorontalo memiliki penduduk yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam, sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam. Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat Gorontalo yaitu, “Adati hula hula Sareati, Sareati hula hula to Kitabullah” yang artinya, Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah.
Ø  Upacara Pernikahan Adat Gorontalo

*      Mopoloduwo Rahasia
Mopoloduwo rahasia yaitu dimana orang tua dari pria mendatangi kediaman orang tua sang wanita untuk memperoleh restu pernikahan anak mereka. Apabila keduanya menyetujui, maka ditentukan waktu untuk melangsungkan peminangan atau Tolobalango.
*      Tolobalango
Tolobalango adalah peminangan secara resmi yang dihadiri oleh pemangku adat Pembesar Negeri dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga pria atau Lundthu Dulango Layio dan juru bicara utusan keluarga wanita atau Lundthu Dulango Walato, Penyampaian maksud peminangan dilantunkan melalui pantun-pantun yang indah. Dalam Peminangan Adat Gorontalo tidak menyebutkan biaya pernikahan (Tonelo) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin pria, namun yang terpenting mengungkapkan Mahar atau Maharu dan penyampaian acara yang akan dilaksanakan selanjutnya.
*      Depito Dutu
Pada waktu yang telah disepakati dalam acara Tolobalango maka prosesi selanjutnya adalah mengantar harta atau antar mahar, didaerah gorontalo disebut Depito Dutu yang terdiri dari 1 paket mahar, sebuah paket lengkap kosmetik tradisional Gorontalo dan kosmetik modern, ditambah seperangkat busana pengantin wanita, serta bermacam buah-buahan dan bumbu dapur atau dilonggato.
Semua mahar ini dimuat dalam sebuah kendaraan yang didekorasi menyerupai perahu yang disebut Kola–Kola. Arak-arakan hantaran ini dibawa dari rumah Yiladiya (kediaman/ rumah raja) calon pengantin pria menuju rumah Yiladiya pengantin wanita diringi dengan gendering adat dan kelompok Tinilo diiringi tabuhan rebana melantunkan lagu tradisional Gorontalo yang sudah turun temurun, yang berisi sanjungan, himbauan dan doa keselamatan dalam hidup berumah tangga dunia dan akhirat.
*      Mopotilandahu
Pada malam sehari sebelum Akad Nikah digelar serangkaian acara malam pertunangan atau Mopotilandahu. Acara ini diawali dengan Khatam Qur’an, proses in bermakna bahwa calon mempelai wanita telah menamatkan atau menyelesaikan mengajinya dengan membaca ‘Wadhuha’ sampai Surat Lahab. Dilanjutkan dengan Molapi Saronde yaitu tarian yang dibawakan oleh calon mempelai pria dan ayah atau wali laki-laki. Tarian ini menggunakan sehelai selendang. Ayah dan calon mempelai pria secara bergantian menarikannya, sedangkan sang calon mempelai wanita memperhatikan dari kejauhan atau dari kamar.
Bagi calon mempelai pria ini merupakan sarana menengok atau mengintip calon istrinya, istilah daerah Gorontalo di sebut Molile Huali. Dengan tarian ini calon mempelai pria mecuri-curi pandang untuk melihat calonnya. Saronde dimulai dengan ditandai pemukulan rebana diiringi dengan lagu Tulunani yang disusun syair-syairnya dalam bahasa Arab yang juga merupakan lantunan doa-doa untuk keselamatan.
Lalu sang calon mempelai wanita ditemani pendamping menampilkan tarian tradisional Tidi Daa atau Tidi Loilodiya. Tarian ini menggambarkan keberanian dan keyakinan menghadapi badai yang akan terjadi kelak bila berumah tangga. Usai menarikan Tarian Tidi, calon mempelai wanita duduk kembali ke pelaminan dan calon mempelai pria dan rombongan pemangku adat beserta keluarga kembali ke rumahnya.
*      Tari Saronde
Tari Saronde adalah tari pergaulan keakraban dalam acara pertunangan. Tarian ini dilakukan di halaman calon mempelai wanita. Tentu penarinya adalah calon mempelai laki-laki bersama orang tua atau walinya. Ini adalah cara orang Gorontalo menjenguk atau mengintip calon pasangan hidupnya dan mempelai wanita berada di dalam kamar dan tetap memperhatikan pujaan hatinya.
Tari Saronde dipengaruhi secara kuat oleh agama Islam. Tarian ini dimulai dengan pemukulan rebana, alat musik pukul berbentuk bundar. Lirik lagu adalah syair-syair pujian terhadap Tuhan dan doa memohon keselamatan dalam bahasa Arab.
*      Akad Nikah
Keesokan harinya Pemangku Adat melaksanakan Akad Nikah, sebagai acara puncak dimana kedua mempelai akan disatukan dalan ikatan pernikahan yang sah menurut Syariat Islam. Dengan cara setengah berjongkok mempelai pria dan penghulu mengikrarkan Ijab Kabul dan mas kawin yang telah disepakati kedua belah pihak keluarga. Acara ini selanjutnya ditutup dengan doa sebagai tanda syukur atas kelancaran acara penikahan ini.
*      Pakaian Adat Gorontalo
Gorontalo memiliki pakaian khas daerah sendiri baik untuk upacara perkawinan, khitanan, baiat (pembeatan wanita), penyambutan tamu, maupun yang lainnya. Untuk upacara perkawinan, pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u atau Paluawala. Pakaian adat ini umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan hijau.
*      Nuansa Warna Bagi Masyarakat Gorontalo
Dalam adat istiadat gorontalo , setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu, karena itu dalam upacara pernikahan masyarakat gorontalo hanya menggunakan empat warna utama , yaitu merah ,hijau , kuning emas , dan ungu. Warna merah dalam masyarakat gorontalo bermakna keberanian dan tanggung jawab , hijau bermakna Kesuburan, kesehjateraan , kedamaian dan kerukunan, kuning emas bermakna kemulian, kesetiaan ,kesabaran dan kejujuran sedangkan warna ungu bermakna keanggunan dan kewibawaan.
Pada umumnya masyarakat Gorontalo enggan memakai pakai warna coklat karena coklat melambangkan tanah , karena itu bila mereka ingin memakai pakaian warna gelap, maka mereka akan memilih warna hitam yang bermakna keteguhan dan Ketuhanan Yang Maha Esa , warna putih bermakna kesucian dan kedudukan , karena itu masyarakat gorontalo lebih suka mengenakkan warna putih bila pergi ke tempat perkebungan atau kedukaan atau tempat ibadah (masjid), biru muda sering digunakan pada saat peringatan 40 hari duka,sedangkan biru tua digunakan pada peringatan 100 hari duka.
Dalam adat perkawinan Gorontalo sebelum hari H dilaksanakan dutu, dimana kerabat pengantin pria akan mengantarkan harta dengan membawakan buah-buahan , seperti jeruk , nangka ,nenas , tebu , setiap buah yang dibawah juga punya makna tersendiri misalnya buah jeruk berkmakna bahwa pengantin harus merendahkan diri, duri jeruk bermkana bahwa pengantin harus menjaga diri dan rasanya yang manis bermakna bahwa pengantin harus menjaga tata krama atau sifat manis yang disukai orang .nenas durinya juga bermakna bahwa pengantin harus menjaga diri dan begitu juga rasanya yang manis.nangka dalam bahasa gorontalo langge loo olooto , yang berbau harum dan berwarna kuning emas yang bermakna pengantin harus mempunyai sifat penyayang dan penebar keharuman. Tebu warna kuning bermakna pengantin harus menjadi orang yang disukai dan teguh dalam pendirian
Demikian beberapa adat dan kebiasaan yang terus dipertahankan hingga saat ini meski ditengah banyak perubahan yang terjadi mengikuti perkembangan jaman yang makin canggih ini. Namun ada kebiasaan yang mendasar yang diturunkan oleh leluhur yang harus tetap dijaga untuk kelestarian adat dan budaya sebagai ciri khas daerah atau suku yang menjadi kekayaan budaya di Indonesia.
Beragam budaya yang ada di Indonesia telah mencerminkan bahwa betapapun banyak perbedaan budaya antar daerah, namun masing masing individu dan kelompok dapat membaur satu sama lain tanpa melihat perbedaan itu seperti yang tersebut dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Jelaslah bahwa kehidupan bermasyarakat sebenarnya berintikan pada interaksi sosial. Interaksi sosial tersebut merupakan hubungan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang orang sebagai pribadi pribadi, antara kelompok kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Berlangsungnya suatu proses interaksi sosial didasari oleh berbagai factor antara lain factor imitasi, sugesti, identifikasi dan simapti. Faktor factor tersebut dapat bergerak sendiri sendiri secara terpisah mapun dalam keadaan bergabung. Apabila ditinjau secara lebih mendalam, factor tersebut dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah kaidah dan nilai nilai yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar